Lama tak bersua dengan blogger, kabar saya kali ini sudah berpindah dari pedalaman Papua menuju ke kota sejuta kenangan Katon Bagaskara, Yogyakarta. Kali ini saya akan tinggal di Yogyakarta dalam waktu lama untuk sekolah dokter spesialis anak. Nah, tidak pas rasanya jika tidak singgah berwisata kuliner di tempat-tempat “wajib”. Kali ini selagi masih dalam momen lebaran, saya bersama keluarga besar berkunjung ke Bakmi Mbah Gito.
Bakmi yang berada di Jalan Nyi Ageng Nis Kelurahan Rejowinangun ini berada tepat di sebelah barat eks kantor BPS, biasanya dari XT Square ke arah timur sampai mentok. Alamatnya mudah dicari jika sudah berada di Kotagede dan dipastikan orang sekitar Rejowinangun akan menunjukkan jalan jika anda nyasar. Karena memang lokasinya cukup “tersembunyi” dan tidak terlihat dari pinggir jalan.
Eit, tapi tidak perlu khawatir karena ketika anda menemukannya , dipastikan lidah dan mata anda langsung dimanjakan. Nah beruntungnya, saya bertemu langsung dengan Mbah Gito dan tulisan kuliner ini khusus untuk semua.
Tak Kenal Menyerah
Siapa mengira warung bakmi yang dibuka sejak 2008 ini sudah seramai saat saya datang. Ternyata Mbah Gito pernah mengalami pasang surut berjualan loh. Bahkan ketika konsep ruangan telah dibuat unik sama seperti yang dapat kita saksikan sekarang sejak awal pembuatannya, jumlah pengunjung yang datang masih dapat dihitung jari. Parahnya, Mbah Gito yang juga berjualan kelontong hasil bumi selama 30 tahunan harus menambal sulam setiap harinya agar biaya operasional dapat tertutupi. Puncak kesulitannya muncul ketika tahun ketiga berjualan dimana kebangkrutan sudah di depan mata.
Mbah Gito mengenang kembali titik balik perjuangannnya tersebut. Dan saya dengan otomatis bertanya apa yang tetap membuatnya terus membuka tempat ini.
Jika tiga tahun lalu Mbah Gito berhenti dan menutup tempat ini pastilah saya tidak dapat menikmati kelezatan bakminya. Mbah Gito pun memulai kembali strategi marketing door to door mengunjungi rekanan di semua instansi pemerintah untuk hadir mencicipi bakminya.
Mbah Gito memang menjaga sekali rasa enak di bakmi buatannya. Bahkan tidak hanya itu saja, beliau menjaga semua komponen pembuatan mie dengan kualitas terbaik. Ayam dan telor sengaja dipilihnya dari tempat khusus di Wonosari yang tidak tercampur bahan pengawet maupun zat suntikan.
Dan saya pun membuktikan itu dari rasa bakminya.
Manjakan Mata, Lezatkan Lidah
Betul kata Mbah Gito, tempat enak tapi jika rasa tak enak maka pelanggan pun perlahan akan pergi. Kali ini saya pesan meja 10 di lantai bawah. Jangan khawatir karena dimanapun duduknya, anda akan tetap menikmati suguhan ornament njawani di warung ndeso ini. Berbagai perlatan pacul, arit, hingga wayang, topeng dan bermacam hal berbau jawa menghiasi warung sederhana ini. Konon, alat-alat itu sengaja ditaruh Mbah Gito supaya tetap mengingatkan dirinya akan asal muasal usaha keras bertani ayahnya yang mengajarkan dirinya pantang menyerah.
Saya berkeliling ke lantai dua dimana satu layar lebar berisi wayang aneka jenis juga ada. Ternyata di waktu-waktu tertentu ada berbagai pertunjukan loh. Wah, bukan hanya sekadar makan bakmi tapi juga belajar budaya Jawa. Pas sekali untuk mengenalkan wayang pada ponakan saya.
Setelah berkeliling, pesanan keluarga besar pun hadir. Aromanya sudah tercium segar dan lezat. Sengaja pesanan beraneka rupa untuk memuaskan rasa penasaran akan bakmi Mbah Gito ini. Beruntung saya berhasil memesan rica ayam kampung yang terakhir karena setelahnya ternyata sudah habis. Maklum, saya mengunjungi warung Mbah Gito tepat jam 10 malam. Tenang saja, warung ini buka mulai dari jam 11 siang sampai 11 malam.
Nah, saya pun segera mencicipi bakmi goreng spesial karena pesanan super pedas. Ternyata rasanya maknyus, pedasnya pas sesuai dengan pesanan saya. Campuran bumbu bwaang putih, kemiri, mrica bersatu dengan irisan tomat, suwiran daging berstu sempurna apalagi tambahan telor bebek yang terasa banget. Porsinya yang memenuhi ¾ piring ini pas untuk saya yang kelaparan. Apalagi minuman hangat jahe gula batu sudah menanti.
Melirik ke pesanan adik saya, bakmi godoknya pun tak kalah. Kuahnya terasa gurih dengan kaldu yang maknyus. Bahkan jenis kematangan mie dan banyaknya kuah pun dapat dipesan khusus. Kebetulan adik saya suka mie nyemek dan bakmi Mbah Gito membuatkan satu sajian tersebut. Lezat banget apalagi ditambah dengan rica ayam khusus yang asli banget ayam kampung. Untuk minuman bahkan disediakan Saparella, soda tradisional zaman Belanda.
Bersama keluarga besar, makan di Bakmi Mbah Gito terasa lebih nikmat loh. Apalagi dimanjakan dengan berbagai ornamen jawa yang bisa membuat kenangan romantisme zaman pacaran ala jadul terulang kembali.
Murah Meriah
Menutup tulisan ini, harga bakmi Mbah Gito terjangkau loh. Terakhir edisi lebaran ini harga per porsinya 18 ribu. Dibanding dengan kelezatan dan kebersamaan yang tercipta, harga itu muraaah banget.
Bakmi yang berada di Jalan Nyi Ageng Nis Kelurahan Rejowinangun ini berada tepat di sebelah barat eks kantor BPS, biasanya dari XT Square ke arah timur sampai mentok. Alamatnya mudah dicari jika sudah berada di Kotagede dan dipastikan orang sekitar Rejowinangun akan menunjukkan jalan jika anda nyasar. Karena memang lokasinya cukup “tersembunyi” dan tidak terlihat dari pinggir jalan.
Eit, tapi tidak perlu khawatir karena ketika anda menemukannya , dipastikan lidah dan mata anda langsung dimanjakan. Nah beruntungnya, saya bertemu langsung dengan Mbah Gito dan tulisan kuliner ini khusus untuk semua.
Tak Kenal Menyerah
Siapa mengira warung bakmi yang dibuka sejak 2008 ini sudah seramai saat saya datang. Ternyata Mbah Gito pernah mengalami pasang surut berjualan loh. Bahkan ketika konsep ruangan telah dibuat unik sama seperti yang dapat kita saksikan sekarang sejak awal pembuatannya, jumlah pengunjung yang datang masih dapat dihitung jari. Parahnya, Mbah Gito yang juga berjualan kelontong hasil bumi selama 30 tahunan harus menambal sulam setiap harinya agar biaya operasional dapat tertutupi. Puncak kesulitannya muncul ketika tahun ketiga berjualan dimana kebangkrutan sudah di depan mata.
“Rasanya gak kuat, tahun ketiga saya hampir menutup tempat ini”
Mbah Gito mengenang kembali titik balik perjuangannnya tersebut. Dan saya dengan otomatis bertanya apa yang tetap membuatnya terus membuka tempat ini.
“Teman dan keluarga saya bilang untuk terus buka dan jangan menyerah. Saya pun mulai memperbaiki banyak hal, salah satunya strategi marketing”
Jika tiga tahun lalu Mbah Gito berhenti dan menutup tempat ini pastilah saya tidak dapat menikmati kelezatan bakminya. Mbah Gito pun memulai kembali strategi marketing door to door mengunjungi rekanan di semua instansi pemerintah untuk hadir mencicipi bakminya.
“Rasa itu harus enak. Kalau ndak enak nanti yang ngajak temennya malu karena sudah merekomendasikan tempat ini. Kalau rasanya enak, dijamin orang pasti balik lagi dan ketok tular”
Mbah Gito memang menjaga sekali rasa enak di bakmi buatannya. Bahkan tidak hanya itu saja, beliau menjaga semua komponen pembuatan mie dengan kualitas terbaik. Ayam dan telor sengaja dipilihnya dari tempat khusus di Wonosari yang tidak tercampur bahan pengawet maupun zat suntikan.
“Saya harus memberikan yang terbaik, mengurangi paparan zat-zat pengawet biar rasanya tetap alami”
Dan saya pun membuktikan itu dari rasa bakminya.
Manjakan Mata, Lezatkan Lidah
Betul kata Mbah Gito, tempat enak tapi jika rasa tak enak maka pelanggan pun perlahan akan pergi. Kali ini saya pesan meja 10 di lantai bawah. Jangan khawatir karena dimanapun duduknya, anda akan tetap menikmati suguhan ornament njawani di warung ndeso ini. Berbagai perlatan pacul, arit, hingga wayang, topeng dan bermacam hal berbau jawa menghiasi warung sederhana ini. Konon, alat-alat itu sengaja ditaruh Mbah Gito supaya tetap mengingatkan dirinya akan asal muasal usaha keras bertani ayahnya yang mengajarkan dirinya pantang menyerah.
Saya berkeliling ke lantai dua dimana satu layar lebar berisi wayang aneka jenis juga ada. Ternyata di waktu-waktu tertentu ada berbagai pertunjukan loh. Wah, bukan hanya sekadar makan bakmi tapi juga belajar budaya Jawa. Pas sekali untuk mengenalkan wayang pada ponakan saya.
Setelah berkeliling, pesanan keluarga besar pun hadir. Aromanya sudah tercium segar dan lezat. Sengaja pesanan beraneka rupa untuk memuaskan rasa penasaran akan bakmi Mbah Gito ini. Beruntung saya berhasil memesan rica ayam kampung yang terakhir karena setelahnya ternyata sudah habis. Maklum, saya mengunjungi warung Mbah Gito tepat jam 10 malam. Tenang saja, warung ini buka mulai dari jam 11 siang sampai 11 malam.
Nah, saya pun segera mencicipi bakmi goreng spesial karena pesanan super pedas. Ternyata rasanya maknyus, pedasnya pas sesuai dengan pesanan saya. Campuran bumbu bwaang putih, kemiri, mrica bersatu dengan irisan tomat, suwiran daging berstu sempurna apalagi tambahan telor bebek yang terasa banget. Porsinya yang memenuhi ¾ piring ini pas untuk saya yang kelaparan. Apalagi minuman hangat jahe gula batu sudah menanti.
Melirik ke pesanan adik saya, bakmi godoknya pun tak kalah. Kuahnya terasa gurih dengan kaldu yang maknyus. Bahkan jenis kematangan mie dan banyaknya kuah pun dapat dipesan khusus. Kebetulan adik saya suka mie nyemek dan bakmi Mbah Gito membuatkan satu sajian tersebut. Lezat banget apalagi ditambah dengan rica ayam khusus yang asli banget ayam kampung. Untuk minuman bahkan disediakan Saparella, soda tradisional zaman Belanda.
Bersama keluarga besar, makan di Bakmi Mbah Gito terasa lebih nikmat loh. Apalagi dimanjakan dengan berbagai ornamen jawa yang bisa membuat kenangan romantisme zaman pacaran ala jadul terulang kembali.
Murah Meriah
Menutup tulisan ini, harga bakmi Mbah Gito terjangkau loh. Terakhir edisi lebaran ini harga per porsinya 18 ribu. Dibanding dengan kelezatan dan kebersamaan yang tercipta, harga itu muraaah banget.
this blog is very useful and relevan with article i've read, for more detail you can visit https://unair.ac.id/mahasiswa-unair-ciptakan-mie-instan-dari-ikan-patin/
ReplyDelete