Kisah ini saya tuliskan ketika masih mengabdi di pedalaman Papua dan ketika mendapatkan sinyal mendadak saya terkoneksi kembali dengan rekan sejawat yang mengabdikan diri di salah satu RSUD di pinggiran kota besar. Masih berada di Jawa, tentunya tidak ada masalah begitu pikir saya ketika dia menelpon. Namun ternyata perkiraan saya salah. Justru tantangan untuk dokter di Jawa lebih terasa berat karena harus menghadapi pasien dengan beragam rentang pendidikan yang artinya, butuh kesabaran ekstra.
Sebut saya rekan sejawat saya ini Mawar. Menurut saya, dokter Mawar tipe dokter yang sabar dalam menghadapi pasien walaupun kesehariannya dia bergelut di lini pertama IGD. Tentu saja bagi saya kisahnya kali ini terkait pasien sedikit membuat saya heran. Singkat cerita, baru kali itulah dia merasakan emosi dan sulit terkendalikan ketika menghadapi pasien. Pasien ini seorang lelaki, berumur 50 tahunan datang dengan kondisi marah-marah dan terus berteriak. Kebetulan dia datang ketika ada pasien lain yang membutuhkan pertolongan lebih dulu berdasarkan tingkatan emergensi namun tak lama rekan saya segera menemui pasien tersebut. Sebut saja Tuan A. Masih dalam kondisi marah-marah dan terus berteriak, si tuan A ini terus mengatakan kalau seluruh tubuhnya sakit. "Iya bapak...coba cerita bagian mana yang sakit" teman saya mencoba bertanya dengan lembut untuk tahu bagian mana karena usia 50 tahun punya resiko tuk sakit di beragam organ mulai dari jantung, ginjal, otak hingga lainnya.
"Pokoknya semua sakit" dan selalu itu saja yang dikatakan si tuan A walau teman saya mencoba bertanya dengan berbagai variasi. Karena merasa tidak mendapatkan jawaban, maka teman saya mencoba menanyakan dengan pertanyaan tertutup yang jawabannya ya atau tidak. Ini dimaksud untuk meminimalisir ke arah mana diagnosa akan ditegakkan.
"Apa ada nyeri dada?" dan beragai pertanyaan lain yang oleh si tuan A tidak dijawab malah semakin dimaki-maki.
"Dokter itu tidak perlu tanya-tanya ke saya. Cepat saja obati saya tanpa banyak tanya. Masa kasih obat saja tidak bisa" Wah di titik ini teman saya masih mencoba berdamai dengan sudah menahan emosi.
"Bapak...saya perlu tahu apa yang bapak rasakan supaya saya bisa diagnosa penyakit bapak dan kasih bapak obat yang tepat" Ternyata si tuan A tambah menjadi-jadi hingga akhirnya rekan saya mencoba tuk berkomunikasi dengan keluarga yang mengantar, sepertinya yang ada saat itu anak si tuan A.
"Mba...tolong dibantu bapaknya. Kalau begini terus saya tidak bisa memeriksa beliau" namun ternyata si tuan A salah tangkap dan malah mengira rekan saya memarahi anaknya.
"Eh dokter jangan bawa-bawa dan marahi anak saya ya. Siapa dokter kok berani bentak-bentak anak saya" Dan rekan saya pun layaknya manusia yang punya batas kesabaran, mencoba dengan senyum menjawab si bapak.
"Saya juga anak bapak saya ya. Siapa anda berani bentak-bentak anak orang juga. Kalau bapak mau dihargai, silakan hargai orang lain juga" dan untuk menghindari emosi yang masih memanas, rekan saya mundur ke belakang alias ke ruang jaga. Kebetulan sebentar lagi jam operan jaga IGD yang artinya akan ada dokter pengganti. Kebetulan juga dokter pengganti ini punya daya sabar di atas rekan saya itu.
Dan....ternyata, si dokter pengganti pun tidak "mendiagnosa" pasien emosional tadi karena hal yang sama dengan yang pasien lakukan terhadap dokter. Pasien menolak dokter menyentuh, memeriksa bahkan bertanya-tanya sementara dia ingin diobati. Hingga akhirnya pasien yang tidak jelas keluhannya itu pulang dengan sendirinya. Kalau dilihat dari segi kegawatdaruratan mungkin tidak terlihat secara jelas karena pasien tipe seperti ini sebenarnya bisa menunggu untuk periksa di poli atau berkunjung ke dokter spesialis di praktek pribadi.
Dalam kasus ini, diagnosis pasien tidak dapat ditegakkan karena pasien tidak dapat diajak berkomunikasi.Keluarganya pun memilih membawa pulang pasien lantaran malu si bapak bikin heboh IGD dengan marah-marah. Kita pun tidak dapat mengatakan adanya gangguan kejiwaan yang diderita pasien karena hasil diagnosis belum sempurna. Salah-salah memberikan obat penenang malah bisa berakibat fatal.
Komunikasi Dua Arah
Ibarat pasangan hidup, dokter dan pasien sebenarnya dapat dikatakan saling membutuhkan. Dokter tidak mungkin bisa jadi dokter kalau tidak ada pasien yang menjadi tempatnya mengabdikan diri. Keduanya mungkin seperti pasutri yang harmonis di awal saja namun ketika berantem dapat berakhir mengerikan. Keduanya sama-sama berawal dari komunikasi yang kurang baik.
Hanya bedanya, dokter lebih membutuhkan segala informasi dari pasien terkait apa yang dikeluhkan agar mampu menegakkan diagnosis. Bahwa ilmu kedokteran sangat luas dan seperti seni itu adalah benar. Sama-sama datang dengan batuk boleh jadi satunya hanya rawat jalan, satunya pengobatan enam bulan berturut-turut, atau malah satunya lagi berakhir di ICU. Satu gejala tidak dapat menjelaskan langsung kemana arah diagnosis. Oleh karenanya, penting untuk pasien setiap hadir berobat didampingi oleh keluarga atau orang yang dipercaya agar dapat membantu dokter untuk mendapatkan informasi penting terkait sakit yang dirasakan.
Tidak Benar-Benar Marah Kok
Menurut saya, ada beberapa tipe dokter memang. Ada yang cara bicaranya memang keras tapi tidak bermaksud marah namun jika orang pertama kali bertemu tidak paham wataknya maka dapat dikira dokternya pemarah. Tipe seperti ini biasanya topcer kalau ngasih resep jadi pasiennya bisa saja tetap banyak. Ada juga tipe dokter penyabar yang memang karena berasal dari cara bicaranya yang lembut. Lebih bagus lagi kalau tipe begini obatnya topcer juga. Pasiennya dijamin pasti antri lama.
Nah...terkadang juga, ada dokter yang pura-pura marah supaya pasiennya manut karena memang ada tipe pasien bandel. Pantangan yang harusnya dihindari malah dijalankan, begitu pula sebaliknya. Jadi dokter kasih sedikit syok terapi supaya pasiennya kembali menjalankan anjuran yang toh ujung-ujungnya bermanfaat untuk pasien. Seperti misalnya pasien diabetes yang terkadang sulit untuk menjaga makan dan minum obat teratur walau sudah tidak ada keluhan yang dirasa.
Dan...ujung-ujungnya kembali lagi bahwa dokter juga manusia biasa, bukan dewa yang bisa melek 24 jam terus-terusan demi pasien, yang juga punya ambang lelah. Memang bukan profesi yang mudah, entah itu dokter di ranah apapun, seperti dokter klinis jaga gawang IGD, atau dokter praktekan atau malah dokter residen yang masih sekolah. Semua punya tingkat tantangan berbeda-beda. Jadi, bagi saya asal semuanya berujung pada pengobatan yang pengabdian yang terbaik untuk pasien, cara apa saja bisa ditempuh toh.
Salam Sabar
dr.Hafiidhaturrahmah
duuhh, ga kebayang deh kalo saya yang di posisi teman mbak itu, mungkin semua isi ruangan mendadak berubah jadi UFO saya buat hehe .. jadi dokter tantangannya emang berat ya mbak, harus ekstra sabar berhadapan dengan pasien yang kadang suka lupa kalau dokter itu juga manusia :D
ReplyDeleteSalam sabar juga mbak :)
hehe begitulah mb mer...bukan cuma jadi ufo tapi pengen garuk kepala orang laen. makasih udah mampir mb
DeleteInformasi yang anda berikan sangat menarik. Saya juga memiliki link yang mungkin bermanfaat. Silahkan kunjungi Pusat Studi Informasi Kedokteran
ReplyDeleteaneh ya.. tp bisa di pikirkan juga ke arah gangguan psikis dok..dirujuk ke r*j saja mungkin
ReplyDelete