Mendengar kata dokter anak pasti yang terbayang sosok dokter lucu, bersahaja, dan menggemaskan yang membuat anak-anak menjadi nyaman. Saya sendiri ketika mendengar dokter anak maka yang pertama kali ada di benak saya adalah sosok bersahaja yaitu para konsulen anak saya yang pernah saya temui di berbagai lokasi. Tidak hanya di kampus atau kota besar, saya bertemu banyak konsulen di pedalaman. Dari mereka saya belajar banyak bahwa ternyata menjadi dokter anak membutuhkan tanggung jawab besar.
Dulu awalnya saya berpikir karena saya suka berinteraksi dengan anak-anak, maka mungkin saya bisa jadi dokter anak. Tapi ternyata suka dan senang saja tidak cukup. Butuh belajar super keras dan disiplin di dalamnya. Bahkan ketika sudah menjadi konsulen anak sekalipun ternyata proses belajar itu masih berlanjut.
Dan saya baru memulai proses belajar itu sekarang, setelah empat tahun berkelana mencari pengalaman yang belum seberapa di beberapa daerah terpencil. Dulu ketika menemui kasus sulit pada anak di pedalaman Sumba saya berpikir bagaimana cara menyelamatkan anak ini sebelum akhirnya anak ini dirujuk ke rumah sakit terdekat. Tentu saja ini butuh penjelasan berlapis-lapis kepada keluarga pasien dimana tidak semua keluarga dapat memberikan keputusan dalam waktu cepat jika anaknya butuh rujukan. Ada banyak norma adat yang harus ditunggu dan saya menikmati proses bernegosiasi tersebut. Walau terkadang tidak masuk akal rasanya membayangkan bahwa masyarakat di pedalaman lebih memilih menunggu "dukun" atau "orang yang dipercaya" menentukan pilihan dibanding langsung mengiyakan saran dokter. Tidak jarang juga kondisi makin mengenaskan karena faktor kemiskinan membuat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah datang menggerogoti si anak bertubi-tubi. Bayangkan saja anak dengan penurunan kesadaran lantaran malaria diperberat pula dengan dehidrasi karena diare lantaran higenitas buruk plus ternyata mengalami gangguan gizi buruk. Jujur, saya tidak dapat melakukan banyak hal saat itu karena saya tidak mempunyai kompetensi di dalamnya. Ketika pun akhirnya saya berhasil merujuk pasien tersebut, belum tentu kejadian yang sama tidak menimpa anak-anak lainnya dimana memang mereka hidup di alam yang sama. Di Sumba itulah saya belajar kesabaran juga keterbatasan.
Setelahnya saya sempat mencicipi Kalimantan dan berpikir mungkin pasien disana akan lebih mudah teratasi tapi saya salah. Bahkan hingga saya pindah dan menetap setahun di Desa Tosari yang tepat di kaki Gunung Bromo sekalipun ternyata pikiran saya tadi masih salah. Pasien tidak pandang bulu, apalagi pasien anak. Pedalaman atau desa bahkan kota identik ternyata kasusnya. Kita para dokter akan dihadapkan tetap pada cara mengedukasi keluarga, berkompromi dengan adat istiadat, dan tentu saja bertemu dengan keterbatasan dan kemiskinan. Pada akhirnya, perjalanan saya menuju Papua menutup segala pengalaman saya, bahwa Indonesia sungguh sangat kaya akan suku bangsa dan adat istiadat. Yang bisa kami sebagai dokter lakukan adalah berdamai dengan adat istiadat tersebut karena niscaya menunggu keajaiban perubahan adat membutuhkan waktu super lama, puluhan tahun. Betul, akhirnya saya belajar lagi dua kata yaitu kesabaran dan keterbatasan. Asalkan niat kita tulus membantu semaksimal mungkin, Insyallah Tuhan akan berikan dan bukakan pintu hati yang kita tolong juga. Karena sungguh kami para dokter hanya penyalur alias perantara saja. Kadang tanpa kami datangpun, saya merasa anak Indonesia itu sangat kuat, dapat beradaptasi dalam situasi ekstrem sekalipun. Contohnya saja saya pernah bertemu bayi dengan hemoglobin darah kurang dari 4 (bahkan teman saya pernah bertemu dengan anak yang Hbnya hanya 1 koma saja) yang kalau mau dibilang sudah anemia berat. Jika dinalar kok bisa mereka bertahan dengan kondisi darah yang sangat kurang seperti itu. Nyatanya, mereka kuat bahkan saking kuatnya terkadang datang ke rumah sakit bukan karena kurang darah melainkan penyakit lain seperti radang paru, diare atau malaria. Saya belajar ilmu yang kadang tidak dapat dinalar tapi ada pada pasien unik tersebut. Bahkan ketika meneliti malaria pada bayi saya makin sadar apa yang dikatakan di jurnal tidak mungkin A dapat terjadi, eh saya malah ketemunya A terjadi secara umum di sini. Apakah teorinya salah atau kita yang salah? inilah sebabnya bagi kami para dokter, belajar itu proses panjang seumur hidup. Long Life Learning yang tidak akan pernah putus.
Dan sekarang saya memulainya, menyatukan kembali fragmen-fragmen pengalaman di daerah yang pernah saya alami untuk belajar kembali tentang anak secara mendalam. Jadi akan seperti apakah dokter anak versi saya, mari kita belajar bersama-sama.
Dulu awalnya saya berpikir karena saya suka berinteraksi dengan anak-anak, maka mungkin saya bisa jadi dokter anak. Tapi ternyata suka dan senang saja tidak cukup. Butuh belajar super keras dan disiplin di dalamnya. Bahkan ketika sudah menjadi konsulen anak sekalipun ternyata proses belajar itu masih berlanjut.
Dan saya baru memulai proses belajar itu sekarang, setelah empat tahun berkelana mencari pengalaman yang belum seberapa di beberapa daerah terpencil. Dulu ketika menemui kasus sulit pada anak di pedalaman Sumba saya berpikir bagaimana cara menyelamatkan anak ini sebelum akhirnya anak ini dirujuk ke rumah sakit terdekat. Tentu saja ini butuh penjelasan berlapis-lapis kepada keluarga pasien dimana tidak semua keluarga dapat memberikan keputusan dalam waktu cepat jika anaknya butuh rujukan. Ada banyak norma adat yang harus ditunggu dan saya menikmati proses bernegosiasi tersebut. Walau terkadang tidak masuk akal rasanya membayangkan bahwa masyarakat di pedalaman lebih memilih menunggu "dukun" atau "orang yang dipercaya" menentukan pilihan dibanding langsung mengiyakan saran dokter. Tidak jarang juga kondisi makin mengenaskan karena faktor kemiskinan membuat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah datang menggerogoti si anak bertubi-tubi. Bayangkan saja anak dengan penurunan kesadaran lantaran malaria diperberat pula dengan dehidrasi karena diare lantaran higenitas buruk plus ternyata mengalami gangguan gizi buruk. Jujur, saya tidak dapat melakukan banyak hal saat itu karena saya tidak mempunyai kompetensi di dalamnya. Ketika pun akhirnya saya berhasil merujuk pasien tersebut, belum tentu kejadian yang sama tidak menimpa anak-anak lainnya dimana memang mereka hidup di alam yang sama. Di Sumba itulah saya belajar kesabaran juga keterbatasan.
Setelahnya saya sempat mencicipi Kalimantan dan berpikir mungkin pasien disana akan lebih mudah teratasi tapi saya salah. Bahkan hingga saya pindah dan menetap setahun di Desa Tosari yang tepat di kaki Gunung Bromo sekalipun ternyata pikiran saya tadi masih salah. Pasien tidak pandang bulu, apalagi pasien anak. Pedalaman atau desa bahkan kota identik ternyata kasusnya. Kita para dokter akan dihadapkan tetap pada cara mengedukasi keluarga, berkompromi dengan adat istiadat, dan tentu saja bertemu dengan keterbatasan dan kemiskinan. Pada akhirnya, perjalanan saya menuju Papua menutup segala pengalaman saya, bahwa Indonesia sungguh sangat kaya akan suku bangsa dan adat istiadat. Yang bisa kami sebagai dokter lakukan adalah berdamai dengan adat istiadat tersebut karena niscaya menunggu keajaiban perubahan adat membutuhkan waktu super lama, puluhan tahun. Betul, akhirnya saya belajar lagi dua kata yaitu kesabaran dan keterbatasan. Asalkan niat kita tulus membantu semaksimal mungkin, Insyallah Tuhan akan berikan dan bukakan pintu hati yang kita tolong juga. Karena sungguh kami para dokter hanya penyalur alias perantara saja. Kadang tanpa kami datangpun, saya merasa anak Indonesia itu sangat kuat, dapat beradaptasi dalam situasi ekstrem sekalipun. Contohnya saja saya pernah bertemu bayi dengan hemoglobin darah kurang dari 4 (bahkan teman saya pernah bertemu dengan anak yang Hbnya hanya 1 koma saja) yang kalau mau dibilang sudah anemia berat. Jika dinalar kok bisa mereka bertahan dengan kondisi darah yang sangat kurang seperti itu. Nyatanya, mereka kuat bahkan saking kuatnya terkadang datang ke rumah sakit bukan karena kurang darah melainkan penyakit lain seperti radang paru, diare atau malaria. Saya belajar ilmu yang kadang tidak dapat dinalar tapi ada pada pasien unik tersebut. Bahkan ketika meneliti malaria pada bayi saya makin sadar apa yang dikatakan di jurnal tidak mungkin A dapat terjadi, eh saya malah ketemunya A terjadi secara umum di sini. Apakah teorinya salah atau kita yang salah? inilah sebabnya bagi kami para dokter, belajar itu proses panjang seumur hidup. Long Life Learning yang tidak akan pernah putus.
Dan sekarang saya memulainya, menyatukan kembali fragmen-fragmen pengalaman di daerah yang pernah saya alami untuk belajar kembali tentang anak secara mendalam. Jadi akan seperti apakah dokter anak versi saya, mari kita belajar bersama-sama.
No comments:
Post a Comment