Sukses mungkin bagi sebagian orang dapat diartikan banyak harta atau dapat melakukan apa saja, namun bagi Mbok Sum, sukses lain artinya.
"Opo wae sing penting ikhlas njalanin"
Mbok Sum yang Sederhana
Kesederhanaannya mungkin sama seperti ucapan arti kesuksanannya. Menjalani segala sesuatunya dengan ikhlas. Pertama kali saya bertemu di sebuah gerobag gorengan yang cukup terkenal di kota Timika. Sudah beberapa kali rekan saya meyarankan untuk membeli gorengan di depan supermarket sederhana itu namun baru beberapa hari kemarin saya benar-benar membelinya sendiri. Biasanya saya selalu titip teman atau menunggu orang lain datang membawa gorengan khas ini. Ternyata ada hikmahnya, saat itulah saya bertemu Mbok Sum. Sebenernya wanita yang kemungkinan besar berusia lebih dari 70 tahun ini lebih pantas dipanggil mbah atau oma namun karena cucunya pun sudah terbiasa dengan panggilan mbok maka sayapun ikutan memanggilnya Mbok Sum.
Deretan giginya yang hitam karena mengunyah sirih pinang ternyata masih memuat deretan itu kokoh tidak ompok layaknya rekan seusianya. Karena cukup lama menunggu pisang baru masuk ke wajan panas maka ada setengah jam lebih saya mendengarkan kisahnya.
Berawal dari Transmigrasi
Bila selama ini saya hanya sering mendengar kisah para transmigrasi secara tidak langsung, kali ini saya mendengarnya langsung dan tidak tanggung-tanggung, transmigrasi lini pertamalah yang saya saksikan. Mbok Sum yang masih sehat ini bukti ketika 30 tahunan yang lalu dimulai program transmigrasi besar-besaran penduduk Jawa ke tanah Papua. Memang sekali pemberangkatan si Mbok mengatakan bisa 300 orang berangkat dalam satu pesawat Hercules. Tidak perlu membawa bekal apapun, karena nantinya segala kebutuhan papan, sandang sampai pangan akan disubsidi oleh pemerintah. Mereka pun akan diberikan masing-masing lahan sebesar dua hektar untuk diolah. Uniknya, ketika ditanya kenapa saat itu si Mbok tertarik ikutan transmigrasi, dia hanya nyengir menjawab
"Iyo ben iso melu wisata jalan-jalan numpak pesawat nyang Papua".
Kontan alasan sederhana itu membuat saya tertawa. Bersama suami tercinta, si Mbok yang saat itu masih muda pun memulai perantauannya hingga jatuh cinta pada Papua dan menetap selamanya hingga saat ini. Segala pekerjaan selepas suaminya meninggal pun pernah dijajal si Mbok mulai dari jualan sayuran di pasar hingga akhirnya menjua gorengan. Lucunya, ketika awal menjadi penjual dahulu kala, si Mbok selalu saja mengejar pembeli atau siapapun yang ditemui di pasar jika kedapatan orang itu bicara dalam bahasa Jawa. Maklum saja saat itu masih sedikit orang Jawa sehingga si Mbok kesepian dan ingin memperbanyak saudara. Hingga akhirnya si Mbok mempunyai tiga anak (satunya meninggal karena sakit ketika 25 tahun) dan semuanya pun besar di Papua. Eit..si Mbok juga cerita ketika dirinya nyaris mati karena malaria hingga seminggu lebih dimana saat itu pengobatannya belum semudah sekarang.
Menekuni Gorengan sebagai Bisnis Keluarga
Gorengan akhirnya menjadi pelabuhan terakhir si Mbok yang walau sudah berusia lanjut tetap saja berada di balik layar usaha ini. Hanya bermodalkan gerobag panjang, sekilas saya merasa ah menjual gorengan tidaklah susah, hanya "goreng" saya lalu selesai. Namun, satu hari bersama si Mbok membuat saya mengubah pandangan bahwa segala usaha yang terkesan sederhana sebenarnya berasal dari dedikasi penuh dari para pemiliknya. Yap, Sabtu (17/5/14) saya beruntung dapat bermain dan memberikan kejutan ke rumah si Mbok. Sejak pertama kali bertemu dengan si Mbok, saya merasa seperti ketemu Mbah saya di Jawa dan setelah dijelaskan alamat rumah beliau, saya memang berjanji untuk main. Tadinya mau berkunjung ketika buka puasa atau lebaran tapi rasanya terlalu lama. Saya tahu di si Mbok masih terkejut ketika saya hadir ke rumahnya. Saya lebih terkejut lagi ketika menyaksikan sendiri si Mbok mengolah semua adonan dan racikannya sendiri.
Ditemani oleh anak keduanya (Pak Agung karena anak pertamanya bernama Agung), saya pun merasakan sehari menjadi penjual gorengan. Ternyata nongkrong di depan supermarket sejak jam 5 sore hingga 10 malam itu bagian dari rangkaikan panjang usaha dalam sehari. Sejak dini hari si Mbok memang sudah bangun untuk mempersiapkan segalanya. Jika dulu masih si Mbok sendiri yang belanja ke pasar, sekarang sudah tidak lagi. Anak pertamanya yang wanita yang kini belanja. Dalam satu hari belanjaannya tidak pernah saya duga akan sebanyak itu. Bahkan untuk tepunya saja sampai satu karung besar yang habis untuk sehari. Itupun katanya produksi sengaja dikurangi karena satu anaknya sedang mudik ke Jawa dan tidak ada tenaga tambahan. Belum lagi tahu, singkong, tempe juga sayuran lainnya. Hanya aneka gorengan. Sejak pagi aktivitas racik isian tahu goreng hingga combro dimulai dan biasanya ketika sudah terdengar azan Ashar mereka akan mulai menggoreng sebagian di rumah. Cara menggorengnya pun cukup unik karena menggunakan drum berisi serbuk kelapa yang dibakar. Konon ini dapat mengirit bahan bakar minyak tanah yang semakin mahal dan sulit didapatkan di Papua. Sengaja digoreng sebagian ini agar ketika nangkring sudah bisa menjual jika ada pembeli datang.Sementara jam 5 sore adalah patokanPak Agung harus sudah mendorong gerobag panjangnya ke tempat tongkrongan.
Bahan pembuatan combro siap digoreng (Dok Pribadi)
Sebagian digoreng di rumah supaya cepat (Dok Pribadi)
Pak Agung, anak kedua Mbok Sum ikut menjalankan roda bisnis keluarga ini (Dok Pribadi)
Mulai beraksi di gerobag panjang (Dok Pribadi)
Setelahnya, ratusan gorengan pun siap dijual seharga seribu rupiah. Rupiah demi rupiah pun mengalir. Bagi saya ini harga yang sangat murah bila dibandingkan dengan perjuangan mereka mempersiapkan segala hal tersebut. Bahkan saya bilang, sekarang kalau mau makan gorengan si Mbok jadi gak tega. Saya gigitnya cuma sekali tapi si Mbok bikinnya seharian. Hehe Berkah Gorengan Bagi saya, si Mbok contoh sukses dan berkahnya suatu usaha. Saat ini si Mbok bahkan sudah mempunyai kendaraan roda empat yang dapat digunakan untuk belanja ke pasar. Bahkan juga bisa membangun rumah kos-kosan dengan banyak kamar. Yang lebih penting lagi, usaha keluarga tersebut ternyata dapat menyekolahkan cucunya kuliah di Yogyakarta di jurusan pertambangan. Satu hari bersama si Mbok cepat berlalu tapi saya nanti akan rajin datang. Mencicipi gorengan pertama ternyata sensasinya spesial.
Mbok Sum yang tangguh (Dok Pribadi)
Artikel asli diterbitkan pertama kali di sini
Salam Gorengan
dr.Hafiidhaturrahmah
sewaktu menjadi peneliti Muda Malaria di Papua
No comments:
Post a Comment