“Dok…tolong dok anak saya panas”
“Dok…anak saya kejang!!!”
“Dok…dok…”
Menuliskan kisah ini membuat saya mengingat kembali berbagai pengalaman saya ketika berhadapan dengan pasien anak. Ada orang tua yang datang ceria untuk konsultasi perkembangan anaknya tapi ada pula yang tidak dapat berkata-kata karena anaknya sudah gawat. Semua berharap dokter dapat menjaga anak-anaknya tetap sehat.
Waspada Batuk Darah
Sosok cilik bernama Rendi di kampung kumuh Jakarta mengingatkan saya tentang kasus Tuberkulosis (TB). Pasalnya, tulang dada dan punggung Rendi membusung karena TB Tulang. Tidak beda jauh, Bu Mawar yang saya temui di sejuknya udara Bromo juga karena batuk darah hebat lantaran TB. Sayangnya, tidak terselamatkan karena kehilangan banyak darah dan ironisnya anaknya tertular TB pula. Bahkan ketika saat ini saya berada di Papua, TB atau biasa pula dijuluki bangka babi masih sering saya temui pada anak-anak.
Kenyataan pasien yang saya temui di berbagai daerah penugasan tersebut menguatkan TB dapat menyerang siapa saja, dimana saja. Sayangnya, tidak semua yang dicurigai TB tersebut dibawa ke fasilitas kesehatan dengan segera untuk diobati selama 6 bulan. Terutama orang dewasa sebagai sumber penularan kuman TB pada anak-anak. Akhirnya, tanpa disadari anak kita menyimpan kuman TB yang terus berkembang. Padahal jika kita berusaha memberikan perhatian lebih maka gejala umum ini dapat menggambarkan ciri-ciri anak TB.
Gejala umum anak dengan TB yaitu berat badan berkurang dua bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam berkepanjangan tanpa sebab yang jelas, batuk kronik lebih dari tiga minggu dan ada riwayat kontak dengan penderita TB dewasa.menentukan anak dengan TB bukan hal mudah sehingga Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan sistem skoring untuk menegakkan diagnosis TB pada anak.
TB dan Kesehatan Anak Indonesia
Badan Kesehatan Dunia, WHO, memprediksi ada 8,6 juta kasus baru TB dan kira-kira 3 juta diantaranya meninggal. Ironisnya hampir 1,3 juta kasus dan 450 ribu kematian itu terjadi pada anak-anak tiap tahunnya. Kini Indonesia turun peringkat dari ketiga menjadi keempat sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak setelah India, China dan Afrika Selatan. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan dapat dilihat angka kejadian TB adalah 297 per 100.000 penduduk dengan penambahan kasus baru per tahunnya 460.000. Setiap harinya ada 186 penduduk Indonesia yang meninggal sia-sia hanya karena TB. Seramnya, TB ternyata pembunuh nomer satu di antara penyakit menular dan masuk dalam peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004.
Angka terkait TB tersebut seharusnya membuat kita lebih waspada. Pasalnya, jika ada satu saja orang dewasa di suatu daerah ternyata positif TB maka dia dapat dengan mudah menularkan TB ke anak-anak di sekitarnya. Oleh karenanya menemukan dan mengobati penderita TB sedini mungkin sama artinya dengan mencegah penularan TB ke anak-anak. Karena menentukan anak dengan TB lebih sulit dibandingkan dewasa sehingga lebih baik mencegah. Bagaimanapun anak-anak Indonesia ini adalah aset yang akan menentukan arah bangsa Indonesia ke depannya. Jika anak yang sekarang dibiarkan tumbuh dengan berbagai penyakit maka betapa kita telah berdosa menyia-nyiakan anugerah aset sumber daya manusia ini.
Mencegah TB dari Hal Sederhana
TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang penularannya dapat dilakukan melalui percikan air liur ketika bersin atau batuk. Jika dipelajari lebih lanjut, kuman tersebut dapat dihilangkan dengan sebuah langkah sederhana yaitu dari rajin menjaga kebersihan diri, salah satunya dengan Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Walau terlihat bersih, tangan kita sebenarnya menjadi sumber penularan penyakit termasuk di antaranya kuman TB. CTPS inilah yang dapat menghilangkan kuman pada tangan sekaligus mengurangi resiko terinfeksi penyakit tertentu.
Hal ini mengingatkan saya ketika setahun bersama Pencerah Nusantara dan belajar terkait MDG’s (Millenium Development Goals) bersama ahlinya, Prof Nila Moeloek . Beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan kami yang dikirim ke pelosok untuk mengutamakan promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan. Setelah melalui Pemetaan Kesehatan Keluarga dari Desember 2012-Mei 2013 di Desa Tosari, Bromo, Jawa Timur pada 1059 Kepala Keluarga (2.746 warga), saya beserta tim Pencerah Nusantara pun memunculkan kegiatan promotif dengan sasaran picuan awal pada kelompok anak-anak. Hal ini dimaksudkan karena anak-anak dapat menjadi pintu masuk model pembiasaan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).
Tidak tanggung-tanggung, kami pun menyisir dan berkunjung mempromosikan budaya CTPS serta menyikat gigi yang benar di hampir seluruh TK dan SD. Sebagai gebrakannya, kami mengadakan lomba kreatif tarian cuci tangan tujuh langkah sebagai ajang evaluasi sejauh mana kegiatan promotif kami berhasil.
Keliling desa berCTPS, makin banyak ketemu anak SD, makin seru (Dok Pribadi)
Keserhanaan SD Ngawu dengan baskom tapi semangat tertinggi (Dok Pribadi)
Serunya lomba tarian CTPS (Dok Pribadi)
Mimpi yang Tertunda untuk SD Ngawu
Ketika diumumkan menjadi Juara 1, anak-anak di SD Ngawu masih tidak percaya dan malah semuanya jadi menangis haru. Walau keluar sebagai juara satu, saya memahami betapa lokasi dusun Ngawu ini sangat sulit dijangkau dengan akses air yang juga tidak mudah. Dusun ini tidak sendirian karena masih banyak dusun lain yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Saya ingat karena tidak ada PDAM bahkan ketika ingin mendapatkan air bersih harus mempunyai modal pipa paralon yang panjang hingga tersambung dengan mata air. Pertama kali saya datang, saya ingat mata berbinar ke-20 anak yang dikumpulkan dalam satu kelas tersebut haus akan ilmu. Hari berikutnya, saya mengajak mereka praktek CTPS dan menyikat gigi. Saya dikejutkan karena satu persatu membawa baskom. Awalnya saya bingung, tapi ternyata baskom berisi air itu mereka bawa dari rumah dengan berjalan kaki karena di sekolahnya air pun tidak ada. Mimpi saya yang masih tertinggal di sekolah ini adalah membuatkan mereka akses langsung ke sumber mata air sehingga mereka tidak perlu lagi menghabiskan waktu hanya untuk mencari air yang sebenarnya sudah ada di medan pegunungan ini. Saya ingin sekali lagi mewujudkan pembiasan CTPS sebelum makan dan setelah buang air besar selama 21 hari, karena jumlah hari itu dipercaya dapat menguatkan perilaku menjadi kebiasaan. Lalu, saya dengan senang hati bersama tim Pencerah Nusantara dan Puskesmas Tosari akan kembali melakukan kegiatan promotif ini. Jika ini yang disebut ketagihan, maka saya setuju, saya ketagihan kegiatan promotif.
Bagimana CTPS, Air Bersih Saja Sulit
Bagi sebagian yang tinggal ambil sabun dan buka keran yang mengalir air bersih, CTPS mungkin terasa mudah. Tapi saya mengalami sulitnya mengajarkan CTPS ketika berada di pedalaman walaupun Brom o saya rasa lebih mudah dibandingkan Sumba dan Papua. Pasalnya, di Bromo masih ada sumber air bersih pegunungan hanya aksesnya saja yang sulit. Sementara di Sumba saya harus merogoh kantong setengah juta tiap bulan hanya untuk membeli air tangki 5000L demi nyaman berMCK. Penduduk di sekitar saya rela antri di sumur yang dalamnya 50 meter dengan air tetap kecoklatan. Tidak jauh berbeda dengan Sumba, di pedalaman Papua lebih miris lagi.Masyarakat pantai membangun rumah mereka di atas rawa dan air yang digunakan untuk mandi, mencuci, bahkan mi num adalah air yang ada di bawah mereka, air yang sama yang terkena limbah kotoran keseharian mereka juga. Jika beruntung hujan turun, mereka menampung air dan sebagian besar saya lihat langsung meminumnya tanpa memasaknya dulu. Jangan tanya angka kesakitan atas diare atau cacingan. Pasien saya bayi baru 3 bulan sudah terkena cacing dan berulang lagi bulan berikutnya padahal sudah diberikan obat dan diawasi ketika minum obat. Rasanya ingin sekali saya membawa alat penyaring air PureIt yang ada di rumah untuk mereka supaya air bersih bukan lagi jadi barang aneh.
Anak-anak Sumba survival (Dok Pribadi)
Sulitnya air bersih (Dok Pribadi)
Semangat Berbagi Bersama Unilever
Beruntung saya berkenalan dengan Unilever yang mencantumkan mimpinya dengan jelas dalam USPL (Unilever Sustainable Living Plan). Melihat iklannya pertama kali dimana Dira muncul membuat harapan saya bangkit lagi. Saya tidak sendirian, ada banyak relawan di luar sana yang menyebarkan hal sederhana CTPS ini dengan caranya masing-masing. Bahkan hal tersebut dengan mudah dapat dilakukan hanya di depan internet, hanya dengan mengklik ini maka setiap ide kita akan bernilai 1000 rupiah. Jika ada satu juta orang yang melakukan hal sama dengan kita maka ada 1 Milyar untuk membangun dan melengkapi fasilitas sanitasi di Pulau Sumba. Bahkan hanya dengan berbagi link tersebut di berbagai media sosial yang kita punya, artinya kita sudah berpartisipasi mewujudkan mimpi Indonesia Sehat. Saya yakin target satu milyar yang dikatakan oleh Dr.Myriam Sidibe sebagai Global Social Mission Director akan terwujud karena saat ini sudah ada 183 juta yang dibantu.
Saya percaya dengan tulisan ini tidak akan ada lagi orang tua yang memasrahkan total anaknya ke dokter karena sebenarnya kesehatan berawal dari rumah tangga. Kesehatan bukan lagi menjadi tanggungan penuh Kementrian Kesehatan saja melainkan semua harus ikut andil supaya poin ke delapan dalam MDGs berupa Global Partnership dapat terwujud. Jadi, tolong luangkan waktu anda sebentar untuk menemani anak anda tumbuh. Mengajarinya kebiasaan hidup bersih dan selalu ada di samping mereka ketika sakit. Jangan biarkan orang lain yang bukan orang tua menjadi yang pertama tahu kondisi anak anda. Karena sesibuk apapun kita mencari uang, tetap ujung-ujungnya akan digunakan untuk keluarga. Jadi selagi ada waktu, mari bantu kami para dokter anak untuk menyehatkan Indonesia dimulai dari memperhatikan anak anda lebih baik lagi.
dr.Hafiidhaturrahmah.
No comments:
Post a Comment