Penulis (25 Dokter Indonesia)
dr. Adityaningrum Purbo Endahpribadi
dr.Anda Marzudinta
drg.Aulia Qizqi Nurdiana
dr. Ayu Nur Ain H, SpKK
dr. Ayu pramitha Wulandari, M.Biomed
dr. Bani Zakiyah
dr. Elta Diah Pasmanasari, SpS, MSi,Med
dr.Hafiidhaturrahmah, MSc,SpA
Dr.dr.Inge W Benjamin, MSi
dr.Marintik Ilahi,SpKJ
dr.Mas’ud Ruga Idris
dr.Mudjiharto, SpAn
dr.Nurul Fathoni, MKes,AAK
dr.Putu Sri Agung Paramita Kelakan S.H
dr. Rosilawati Anggraini
dr.Sak Liung, SpKJ
dr.Stephanie Angela Prijanto
dr.Stephanie Rachel Saimima
dr.Sylvia tanumihardja,SpS
drg.Tania Saskianti,SpKGA (K), PhD
dr.Tarida Lidya Tiarma Ida Manik,SpKK
dr.Tigor Silaban,MKM (Epid)
dr.Willy Kumurur, MPH
drg.Yohannes Dian Indrajati,SpKG
dr.Zhara Vida Zhubika
"Seperti gado-gado, semua bahan dicampur dan hasil akhirnya enak" (kata saya)
Buku wajib untuk yang kepo alias pengin tahu kehidupan di balik jas putih dokter, termasuk untuk para pelajar yang cita-citanya pengin jadi dokter. Pasalnya buku ini berisi paket lengkap dokter berbagai frame, bukan cuma dokter yang sekadar memeriksa "pasien" tapi 25 dokter yang “out of the box”, mau menulis.
Buku terbitan dari Padmedia Publisher ini merupakan ide Wina Bojonegoro selaku CEO untuk mengapresiasi para dokter di tengah pandemi Covid-19. Beliau memberikan ruang untuk para dokter mencurahkan isi hatinya. Akhirnya terkumpul 60 tulisan dokter seantero Indonesia dan diseleksi hanya 25 yang dijadikan buku ini. Buku ini merupakan rangkaian seri dari Hidup Ini Indah Beib (HIIB) Keenam: Kisah-Kisah Inspiratif Dokter Indonesia: Cinta, Tawa, dan Luka.
Saat membaca tulisan para dokter ini saya merasa hanyut karena mereka jujur menyampaikan perasaan termasuk ketika mereka harus menjadi pasien sekaligus. Seperti tulisan drg Aulia Rizki Nurdiana terkait perasaan takut, cemas, panik dan diakhir dengan tangisan tiap malam. Benar memang, menurut saya saat tersulit menjadi dokter adalah ketika harus berdamai dengan dirinya, mengetahui jika ada yang tidak beres pada dirinya dan mencari pertolongan dari orang lain. Pasien berikutnya adalah dr. Ayu Pramitha Wulandari. M.Biomed yang tumbang karena Covid-19, mengisolasi diri 14 hari dan setelahnya harus kembali ke RS melayani pasien. Termasuk perjuangan dr. Zhara Vida Zhubika harus menjadi dokter sekaligus pasien ketika hamil karena anafilaksis juga asma.
Beberapa dokter mengisahkan kematian dari pasien seperti dr. Sak Liung Sp.KJ dimana kematian terkadang menunggu keikhlasan keluarga dalam menerima takdir. Kematian orang terdekat tentunya tidak mudah untuk dibagikan, namun dr. Stephanie Angela Prijanto berbagi perjuangan ayahnya menjalani pengobatan kanker pankreas hingga titik darah penghabisan. Sama halnya saat dr.Sylvia tanumihardja,SpS bercerita pasien strokenya yang selalu ditemani suami ketika kontrol namun ternyata suaminya meninggal lebih dulu. Bahkan kematian di tanah suci dari salah seorang pasiennya pun tetap bukan hal mudah untuk dilalui oleh dr. Marintik Ilahi, Sp.KJ, menyisakan iri "dapatkan kita mati khusnul khatimah di tanah suci Mekkah?"
Para pembaca dapat pula belajar ternyata dokter tidak melulu bekerja di ruang praktek bersama pasien. Dokter Anda Marzudinta, yang memilih menjadi dokter jurnalis berkutat di kantor berita terkenal Jawa Pos selama 20 tahun. Dokter Rosilawati Anggraini, MD mengisahkan petualangannya tercebur di WHO hingga dikirim untuk misi kesehatan ke beberbagai negara Afrika. Kita dapat belajar ilmu “mendengarkan tanpa menghakimi” dari dr. Willy Kumurur,MPH dari kisah miris wanita kaya di Barle Hertog, Antwepen, Belgium, kita memilih sehat atau uang?
Namun, tidak menutup mata bahwa beberapa dokter mengisahkan hidupnya bersama pasien di pedalaman, sisi nyata lainnya bahwa Indonesia bukan hanya kota besar di tanah Jawa saja tetapi masih ada pulau-pulau lain. Dokter Tigor Silaban, MKM(Epid) membuat saya merinding dengan kisahnya melakukan operasi darurat pada pasien ibu hamil di tengah keterbatasan sarana di Wamena, Papua. Petualangan menegangkan dari dr. Stephanie Rachel Salmima, terapung di laut lepas Pulau Nei, Maluku Tenggara lantaran perahu ketintingnya kehabisan bensin. Atau hidup tanpa akses listrik dan air di pedalaman Ratenggaro, Sumba Barat Daya dr.Hafiidhaturrahmah,SpA (dokter avis) namun tetap harus menyelamatkan anak kejang karena malaria.
Medan terjal pedalaman diceritakan pula oleh dr. Mudjiharto, Sp.An ketika bertugas di Bonepantai Gorontalo, harus menolong bayi kembar dengan sangat heroik, tanpa alat yang memadai.
Serupa yang dialami dr. Putu Sri Agung Paramita Kelakan, S.H di Melawi Kalimantan Barat, berjibaku dengan sinyal dan bergumul medan ekstrem berbahaya hanya untuk melihat kehidupan pedalaman di baliknya.
Penuh dengan eksploitasi akan kearifan lokal, buku ini membahas bajakah alias akar-akaran dari Dayak yang diceritakan dr. Mas’ud Ruga Idris sekaligus edukasi unik terhadap pasien lewat adu jotos panco. Keunikan sirih pinang sebagai adat istiadat diangkat dengan menarik oleh dr. Yohannes Dian Indrajati, Sp.KG ketika mengabdi di Timor Tengah Utara.
Sisi humanisme lain adalah tidak semua yang dilihat itu "indah". Siapa sangka dulu dr. Adityaningrum Purbo Endahpribadi adalah gadis hitam, kucel, kurang padahal atlet junior ski air. Sekarang dia berubah menjadi cantik nan elegan tapi tetap menjadi kutu buku. Masih berhubungan dengan kulit, dr. Tarida Lidya Tiarma Ida Manik, Sp.KK bercerita tentang pasien khususnya dengan kutil raksasa di kemaluannya survive. Buku yang sarat akan niatan baik para dokter menolong pasiennya sekuat tenaga, sampai titik darah penghabisan dapat kita baca melalui
kisah dr. Bani Zakiah tentang Bu Rais, buruh cuci dengan luka kepala berat yang menolak operasi karena tidak ingin merepotkan keluarganya. Dr.dr.Inge W Benjamin, MSi menyentuh sisi remaja “menggugurkan bayi” namun gagal dan bayinya tetap hidup dengan cacat.
Jika ada yang mengira jadi dokter itu mudah, harus membaca kisah dari drg. Tania Saskianti, Sp.KGA(K), Ph.Dyang secara jujur mengaku 3x ikut UMPTN ujian sampai akhirnya diterima di FKG Unair. Dokter jalur akademisi ini pun akhirnya terus belajar sampai ke negeri Jepang, siapa yang sangka bukan.
Komunikasi adalah penting, itulah yang dialami dr. Elta Diah Pasmanasari, Sp.S, MSi.Med ketika PTT di Puskesmas Sungai Alang, Kalimantan Selatan. Salah tafsir bahasa lokal antara konsonan “jamur” dan “jemur” membuat kita tertawa terpingkal-pingkal. Keberhasilan komunikasi dr. Nurul Fathoni, M.Kes dengan orang tua pasien yang sangat gigih menolak anak remajanya diamputasi akhirnya terbayar mahal, anak itu hidup dengan kaki yang masih utuh walau harus dirujuk ke rumah sakit besar.
Komunikasi dokter sebagai ibu kepada anak gadisnya untuk menjaga diri dari tindak kejahatan seksual pun penting disampaikan dr. Ayu Nur Ain H., Sp.KK melalui kisah gadis 3,5 tahun, korban seksualitas dari "orang dekat".
Jika ingin melihat bagaimana pelayanan kesehatan di Indonesia, maka ini buku wajib yang harus dibaca. Bukan untuk bikin gigit jari karena gemas, tetapi untuk terus menurunkan angka kesenjangan.
Semoga sehat selalu para dokter Indonesia, masa pandemi ini memang berat tapi percayalah ini adalah masa dimana kita makin menyadari bahwa nyawa hanya titipan dan hidup di dunia terlalu singkat. Bahwa keluarga adalah tempat terbaik kita akan kembali setelah melayani pasien. Terima kasih sudah ada dan terus berbuat baik untuk sesama.
No comments:
Post a Comment